“Politik Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Pasca G. 30 S/PKI (1965-1998).”


Vita Vinia Ardisari, 3101401004 (2005) “Politik Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Pasca G. 30 S/PKI (1965-1998).”. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.

[thumbnail of “Politik Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Pasca G. 30 S/PKI (1965-1998).”]
Preview
PDF (“Politik Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa di Kudus Pasca G. 30 S/PKI (1965-1998).”) - Published Version
Download (486kB) | Preview

Abstract

Etnis Tionghoa di Kudus merupakan salah satu dari kebanyakan Etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Mereka memiliki kekhasan dan keunikan masingmasing. Hubungan Etnis Tionghoa di Kudus dengan penduduk Pribumi sempat terganggu pada tahun 1918. Kerusuhan antar Etnis terjadi karena adanya persaingan usaha antara Etnis Tionghoa (Pendatang) dengan santri (Pribumi). Pertikaian ini menyisakan kepedihan yang mendalam diantara keduanya. Hingga kedua Etnis yang berselisih mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Terbukti sampai sekarang konflik terbuka tidak terjadi lagi, tetapi kerikil-kerikil itu masih ada. Pada masa Kolonial, Etnis Tionghoa di perlakukan secara khusus oleh penguasa pada waktu itu. Kebijakan yang dilakukan terhadap Etnis Tionghoa cenderung mendiskreditkan golongan ini. Diantara kebijakan tersebut antara lain penetapan golongan Etnis Tionghoa sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) bersama dengan orang India, Arab, dan Melayu. Peraturan berikutnya adalah Wijkenstelsel (pemusatan pemukiman Etnis Tionghoa), passenstelsel (kartu perjalanan), politierol (peradilan polisi) dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Pasca Kemerdekaan, pemerintah Indonesia dibawah Soekarno memberlakukan kebijakan terhadap Etnis Tionghoa. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain PP No. 10 tentang larangan berdagang eceran di pedesaan, penerapan sistem ekonomi Benteng Ali-Baba, pendirian sekolah berbahasa pengantar Tionghoa yang kemudian ditutup kembali, serta pengakuan atas 6 Agama resmi di Indonesia. Penelitian ini mengkaji tentang politik pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus, tepatnya Pasca G 30. S/PKI atau pemerintahan dibawah Soeharto. Yang ingin diungkap dari penelitian ini adalah bagaimana reaksi Etnis Tionghoa terhadap politik pemerintah Indonesia, terutama kepada kebijakankebijakan dibidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di bidang politik pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan politik Asimilasionis, kebijakan tersebut ditopang dengan didirikannya Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) Etnis Tionghoa mengapresiasikan kegiatan politiknya hampir ke semua Partai politik yang ada. Dibidang ekonomi pemerintah Soeharto menerapkan sistem “Cukongisme” sistem ini mengadopsi sistem Benteng Ali-Baba, dengan diadakannya kerjasama penduduk pribumi sebagai pemilik ijin dan Etnis Tionghoa sebagai pemilik modal. Kebijakan inilah yang nantinya menimbulkan pro dan kontra diantara Etnis Tionghoa sendiri. Di bidang sosial budaya (Cultural) pemerintah Soeharto mengambil kebijakan dengan melarang aktivitas agama secara berlebihan serta menutup Sekolah Nasional Proyek Chusus (SNPC) yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa. Kemudian membatasi penggunaan Bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari serta menggantikan nama-nama Etnis Tionghoa menjadi nama Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan politik pemerintah Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus serta bagaimana reaksi Etnis Tionghoa dalam menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia. Politik pemerintah Indonesia mempunyai pengaruh yang bagus namun ada pula yang buruk, dengan demikian dapat dijelaskan mengenai implikasi dari adanya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Orde Baru. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi deskripsi lain mengenai Etnis Tionghoa di Kudus. Reaksi dan pendapat Etnis Tionghoa atas politik pemerintah baik dibidang ekonomi, politik, dan sosial budaya dapat dijadikan rangsangan bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih cermat lagi. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang semuanya ada empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan Historiografi, sehingga nantinya bisa menghasilan karya yang bisa di konsumsi untuk menambah ilmu tentang politik Indonesia khususnya tahun 1965-1998. Penelitian memperoleh hasil bahwa Etnis Tionghoa di Kudus bukanlah kelompok minoritas yang homogen dilihat dari segi ekonomi, politik, dan budaya. Pemerintah Orde Baru telah mengambil kebijakan yang bersifat Asimilasionis, bukan Integrasionis terhadap para Etnis Tionghoa di Kudus. Kebijakan di bidang Ekonomi dilakukan dengan menerapkan sistem cukong , menyebabkan gejolak di masyarakat karena munculnya Konglomerat-konglomerat baru. Di bidang kebudayaan pemerintah Orde Baru membelenggu pelaksanaan ibadah Etnis Tionghoa yaitu dengan melarang perayaan hari besar keagamaan secara besarbesaran, serta dilarang merenovasi dan memperbaiki tempat ibadah (Klenteng). Usaha keras kearah pembauran sudah diambil baik oleh pemerintah maupun masyarakat, melibatkan baik tokoh pribumi maupun non Pribumi. Harus diakui bahwa proses pembauran belum berhasil sepenuhnya dicapai. Hal ini dirasakan oleh Etnis Tionghoa, prestasi paling buruk dalam proses pembauran ini justru terjadi pada bidang yang sangat vital, yakni ekonomi yang pada saat-saat tertentu turut memancing munculnya berbagai kerusuhan yang merugikan semua pihak. Belum tuntasnya pembauran ini disebabkan oleh banyak faktor: historis, politik, ekonomis, kultural.

Item Type: Thesis (Under Graduates)
Uncontrolled Keywords: Etnis Tionghoa, Politik Orde Baru, Kab. Kudus
Subjects: D History General and Old World > D History (General) > D839 Post-war History, 1945 on
Fakultas: UNSPECIFIED
Depositing User: Hapsoro Adi Perpus
Date Deposited: 28 Mar 2011 03:18
Last Modified: 25 Apr 2015 04:00
URI: http://lib.unnes.ac.id/id/eprint/386

Actions (login required)

View Item View Item