POLITIK HUKUM KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN (STUDI PERBANDINGAN INDONESIA DAN AUSTRALIA)
INTI FAATUZAHRO , 8111414172 (2018) POLITIK HUKUM KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN (STUDI PERBANDINGAN INDONESIA DAN AUSTRALIA). Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.
PDF
- Published Version
Download (1MB) |
Abstract
Affirmatif actiondengan sistem kuota adalah solusi efektif untuk mendorong agar jumlah keterwakilan perempuan di legislatif mencapai “critical mass” yaitu 30 persen. Mekanisme kuota dapat diadopsi secara sukarela oleh tiap partai politik maupun dicantumkan dalam UU Politik (UU Partai Politik dan UU Pemilu) atau dalam istilah lain disebut kuota legislatif. Di Indonesia, tindakan affirmatif dilakukan dengan menggunakan tipe kuota legislasi dengan mengadopsi kuota 30 persen yang termuat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Idealnya, pemberian affirmative action dalam UU Pemilu mampu meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan hingga mencapai angka 30 persen dari jumlah keseluruhan anggota parlemen di Indonesia. Faktanya, hingga saat ini jumlah perempuan dalam parlemen Indonesia masih dibawah angka 30 persen. Berbeda dengan Australia yang menerapkan sistem kuota sukarela oleh partai dalam pengisian anggota parlemen berbasis gender. Jumlah keterwakilan perempuan di parlemen Australia baik di House of Representative (HoR) maupun Senatetelah melewati massa kritis 30 persen. Permasalahan tersebut menjadi dasar penelitian keterwakilan perempuan dalam parlemen Indonesia untuk diperbandingkan dengan Australia secara konstitusional. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Data-data hukum baik ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Indonesia dan Commonwealth Electoral Act 1918 di Australia akan dijadikan sebagai data primer dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Keterwakilan perempuan di Indonesia menggunakan tipe kuota legislatif akan tetapi belum melewati ambang batas 30 persen. (2) Keterwakilan perempuan di Australia menggunakan tipe kuota partai sukarela dan telah melewati ambang batas 30 persen. (3) Negara Indonesia memiliki kelebihan dalam kepastian jaminan hukum dan kekurangannya terletak pada rendahnya konsistensi partai.Sebaliknya,Australia memiliki kelebihan pada tingginya konsistensi partai dalam meningkatkan keterwakilan perempuan dan tidak adanya kepastian hukum yang mewajibkansemua partai politik untuk mencalonkan kandidat perempuannya dalam parlemen. Penelitian ini merekomendasikan antara lain: (1) Penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) hendaknya memperhatikan keterwakilan perempuan dalam proses pemilu. (2) Partai politik hendaknya konsisten untuk meningkatkan keterwakilan perempuan baik kuantitas maupun kualitas. (3) Masyarakat khususnya stakeholders di bidang politik dan gender melakukan pengawasan dan intervensi interest dalam peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen. (4) Akademis diharapkan berkonstribusi dalam peningkatan kualitas keterwakilan perempuan melalui intervensi akademis.
Item Type: | Thesis (Under Graduates) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Politik Hukum, Keterwakilan Perempuan, Parlemen |
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Fakultas: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum, S1 |
Depositing User: | S.Hum Maria Ayu |
Date Deposited: | 27 Aug 2020 07:46 |
Last Modified: | 27 Aug 2020 07:46 |
URI: | http://lib.unnes.ac.id/id/eprint/38391 |
Actions (login required)
View Item |